Di tengah pekarangan dan terkaman globalisasi, kedudukan Indonesia sebagai negara yang diuji kekokohannya. Di era sekarang muncul berbagai aliran dan paham keagamaan dan sosial politik yang mengusung berbagai ideologi baru, yaitu ideologi kanan dan kiri yang sesungguhnya tidak relevan dengan konteks keindonesiaan. Misalnya, munculnya organisasi yang mengusung ideologi proletariat atau sosialisme dan organisasi yang mengusung ideologi keagamaan yang keras untuk membentuknya negara khilafah.
Berkaca pada pidato Bung Karno, hingga detik ini harus kita akui negara-bangsa masih merupakan instrumen yang paling efektif untuk membangun pola hubungan antara pemerintah sebagai pelayan dan masyarakat dalam bingkai ”both part of the we”. Kebutuhan ini hingga kini masih diisi oleh nation-state dan belum oleh lainnya,termasuk agama.
Karena itu, membunyikan lonceng kematian nasionalisme dan nation-state adalah terlalu dini dan lebih mencerminkan preskripsi ideologis ketimbang analitis. Nation-state akan bertahan lebih lama daripada yang dipikirkan orang. Meskipun mengalami pendarahan politik (political hemorrhage) ”nationstate is still alive and well”. Alternatif negara khilafah yang digaungkan kelompok fundamentalis Islam tidak operasional, kurang konkret, dan tidak bisa diterapkan sebagai alternatif pengganti prinsip-prinsip pengorganisasian kekuasaan modern sebagaimana nation-state.
”Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-Tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ‘golongan kebangsaan’. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.”
Kalimat di atas terdengar pada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945. Ketika itu Ir Soekarno sedang menyuarakan dasar negara kita, menjawab pertanyaan dari Ketua BPUPKI, Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, ”Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?” Kini, di negeri dengan 276,639 juta jiwa ini, sumber data real time dari World Population Review per Rabu (8/2/2023), dengan perbedaan yang tak bisa dihitung satu demi satu di 17.000 pulau, ini memerlukan perekat atas kedaifan sistem sosial kita.
Kemampuan kita untuk membuat kehidupan 276,639 juta orang berjalan tanpa konflik sangat terbatas. Maka sangat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa. Merawat sebuah keanekaragaman sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda sebagai ikhtiar untuk memperbaiki keadaan. Di Indonesia ini kita tak mungkin bermimpi ada sebuah sistem yang sempurna.
Sistem yang merasa diri sempurna— dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, hidup di Indonesia bukan seperti hidup di surga yang tak memerlukan perbaikan.
Untuk mengatasi problem laten itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dihadirkan kembali. Demokrasi mengakui kedaifan manusia, tapi juga hak-hak asasinya. Pancasila—yang bukan wahyu dari langit—adalah buah sejarah dan geografi Tanah Air ini yang mengakui perbedaan karena kebhinekaan adalah takdir kita, yang melahirkan gotong-royong sebagai aksi masyarakat. Keberadaan Pancasila sebagai jati diri bangsa tidak boleh luntur sedikit pun.
Berdasarkan pemikiran dan pengalaman lapangan yang sangat memadai bahwa Pancasila memang bisa menjadi ideologi bangsa Indonesia di tengah kehidupan yang sangat multikultural dan plural. Negara ini akan tetap menjadi besar dan bersatu jika seluruh komponen bangsanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Karena itu, menguatkan kembali Pancasila sebagai living ideology menjadi penting adanya. Kita membutuhkan Pancasila sebagai rumah,memayungi semua.
Memberikan tempat pada agama untuk menjadi pedoman bagi kehidupan bernegara dan menjadikan negara sebagai tempat untuk menumbuh- kembangkan kehidupan beragama. Di dalam konsepsi hubungan antara agama dan negara disebut sebagai hubungan yang simbiosis mutualisme. Kita membutuhkan Pancasila sebagai bagian dari perjalanan kebangsaan yang berbudaya, proses kompromi yang terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka’. Maka perlunya Pancasila tidak hanya di hafal saja melainkan harus diimplementasikan perlakuan seperti itu?