Oleh
Zikal Okta Syahtria
Kepala Sekretariat PP ISNU
Ketua Umum DPP GENINUSA
Jakarta, GENINUSA — Adapun sekilas sejarah sebelum pembacaan naskah kemerdekaan. Para tokoh yang mengikuti perkembangan Perang Dunia II memiliki ide untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu keputusan Jepang. Namun terjadi perbedaan antara golongan tua dan golonngan muda. Golongan muda mendesak agar Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaan. Sementara golongan tua lebih menghindari pertumpahan darah, mengingat pasukan Jepang masih banyak di Indonesia. Sehingga menunggu keputusan Jepang.
Golongan Muda yang terjadi antara Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00 WIB, menculik dan membawa Soekarno serta Hatta ke Rengasdengklok. Tujuan utama dari penculikan ini jelas, agar Soekarno dan Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Namun, mereka sempat menolaknya. Setelah perundingan yang alot, Soekarno dan para tokoh lainnya sepakat untuk memilih tanggal 17 Agustus 1945 sebagai proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bagi Soekarno angka 17 adalah angka yang suci setelah mendapatkan petunjuk dari Habib Ali Al-Habsyi Kwitang dalam menentukan tanggal dan beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan Bung Karno sowan Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim Asy’ari memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Saat itu Agustus merupakan bulan suci Ramadhan. Selain itu 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jumat yang dipercaya sebagai hari suci dan berbahagia.
Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Hal itu sesuai dengan catatan Aguk Irawan MN dalam Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012) yang menyatakan bahwa awal Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, utusan Bung Karno datang menemui KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai, sebaiknya tanggal dan hari apa memproklamirkan kemerdekaan?
Dipilihlah hari Jumat (sayyidul ayyam) tanggal 9 Ramadhan (sayyidus syuhur) 1364 H tepat 17 Agustus 1945, dan lihatlah apa yang dilakukan Bung Karno dan ribuan orang di lapangan saat itu, dalam keadaan puasa semua berdoa dengan menengadahkan tangan ke langit untuk keberkahan negeri ini. Tak lama dari itu, sahabat Mbah Hasyim semasa belajar di Mekkah (Hijaz) yang memang selama itu sering surat-menyurat, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina untuk pertama kali memberikan dukungan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan hari kemerdekaan Indonesia dikonsultasikan terlebih dahulu kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu Kiai Hasyim mengumpulkan para ulama secara bersama-sama untuk melakukan munajat kemudian istikharah agar Allah memberi petunjuk hari yang tepat.
Maka setelah para ulama memusyawarahkan hasil istikharahnya, dipilihlah tanggal 9 Ramadhan 1364 H yang secara kebetulan itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945. Angka Sembilan adalah simbol numerik tertinggi, hari Jumat adalah penghulu atau raja-nya hari dalam sepekan dan Ramadhan adalah rajanya bulan dalam setahun.
Founding father para tokoh pendiri bangsa kita terdahulu tidak sembarangan menentukan hari dan tanggal Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Meskipun buku-buku sejarah tak mencantumkan jasa besar para ulama dan habaib yang turut berperan sentral dibalik peristiwa monemental itu.
Kalam ulama dan petuah nasihat para habaib menjadi pedoman sekaligus motivasi keberanian para pendiri bangsa mengambil keputusan-keputusan besar penuh risiko. Sebab doa-doa merekalah yang menyertai setiap langkah perjuangan pendirian bangsa ini sehingga semua bisa dicapai dengan penuh kegemilangan.
Salah satu tokoh habaib yang paling berpengaruh dan paling disegani Belanda dan menjadi ulama paling populer di masa awal kemerdekaan adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang.
Ir Soekarno dalam banyak langkah mengambil keputusan besar, termasuk menentukan hari dan tanggal Kemerdekaan RI seringkali berdiskusi dan meminta pendapat para ulama di antaranya Habib Ali Kwitang.
Maka, ditentukanlah hari penuh berkah pada hari Jumat pagi pada tanggal 17 Agustus 1945 yang juga bertepatan dengan 17 Ramadhan. Tentu, kesesuaian ini bukan semata karena kebetulan atau kecocokan tanpa sengaja, melainkan atas dasar petunjuk istikharah, isyarat kewalian serta doa dari para ulama dan habaib.
Dua saran dari KH Hasyim Asyari dan Habib Ali Al-Hbsyi Kwitang di jalankan oleh Bung Karno. Sekembalinya dari Rengasdengklok, rombongan Soekarno dan Hatta tiba di Jakarta pukul 23.00 WIB pada 16 Agustus 1945 tepatnya di rumah Laksamana Muda Maeda Tadashi. Jenderal Jepang ini yang memberikan jaminan akan keselamatan para tokoh ini agar bisa menproklamasikan diri. Di rumah tersebutlah, Soekarno, Hatta dan dibantu Sayuti Melik mengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sekitar pukul 05.00 WIB mereka keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta pada pukul 10.00 WIB. Setelah orang berkumpul, akhirnya Soekarno didamping Hatta membacakan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atas nama Bangsa Indonesia.
Menjelang pukul 10.00 WIB, sejumlah pemuda berbaris dengan tertib untuk mengikuti upacara proklamasi. Sejumlah tokoh yang hadir di antaranya yaitu Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo, dan lain-lain. S. Suhud menyiapkan bambu dari belakang rumah sebagai tiang bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati. Acara yang disiapkan yaitu pembacaan proklamasi, pengibaran bendera merah putih, dan sambutan Walikota Soewirjo dan dr. Moewardi.
Setelah teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, pengibaran bendera Merah Putih dilakukan S. Suhud dan Latif Hendraningrat. Saat bendera dinaikkan perlahan-lahan, hadirin spontan menyanyikan Indonesia Raya tanpa dikomando. eks proklamasi pagi hari itu juga disiarkan melalui radio oleh F. Wuz atas penugasan 3 kali penyiaran oleh Kepala Bagian Radio Kantor Berita Domei, Waidan B. Palenewen. Sebelum penyiarnan ketiga, orang Jepang memerintahkan penghentian siaran. Akan tetapi, teks proklamasi terus disiarkan setiap 30 menit hingga pukul 16.00 WIB, sehingga pemancar tersebut disegel dari pegawai pada 20 Agustus 1945.
Tokoh pemuda lalu membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio seperti Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Alat pemancarnya diambil satu persatu dari Kantor Berita Domei ke tempat pemancar baru di Jalan Menteng 31. Dari situ, berita proklamasi dan teks proklamasi terus disiarkan seiring penyebaran lewat surat kabar dan selebaran.
Setelah pembacaan teks naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, sejumlah langkah penting dilakukan untuk memastikan pengakuan dan konsolidasi kemerdekaan Indonesia. Berikut adalah beberapa tindakan yang diambil setelah pembacaan naskah Proklamasi:
1. Pengesahan dan Penandatanganan: Setelah pembacaan naskah Proklamasi oleh Soekarno dan Hatta, tindakan pertama yang dilakukan adalah pengesahan dan penandatanganan oleh mereka berdua sebagai pelaksana Proklamasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengukuhkan tindakan Proklamasi secara resmi.
2. Penyebaran Informasi: Pemerintah provinsi dan daerah di seluruh Indonesia diinformasikan mengenai Proklamasi Kemerdekaan melalui berbagai cara, termasuk siaran radio dan surat kabar. Tujuannya adalah untuk menyebarkan berita tentang kemerdekaan dan membangkitkan semangat perjuangan di seluruh negeri.
3. Konsolidasi Wilayah: Pemerintah Indonesia berupaya mengkonsolidasikan wilayah-wilayah yang telah menyatakan dukungan terhadap Proklamasi. Hal ini melibatkan pembentukan pemerintahan lokal yang setia terhadap Republik Indonesia dan berusaha mengamankan kemerdekaan di wilayah tersebut.
4. Negosiasi dengan Pihak Belanda: Meskipun Proklamasi telah mengumumkan kemerdekaan Indonesia, proses diplomasi dan negosiasi dengan pihak Belanda tetap berlanjut. Beberapa perundingan diadakan untuk mencari solusi damai dan mengakui kemerdekaan Indonesia secara internasional.
5. Pembentukan Pemerintahan Sementara: Pada bulan September 1945, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai upaya untuk memperkuat struktur pemerintahan sementara. Pemerintahan ini bertujuan untuk mengorganisir dan mengatur berbagai aspek kehidupan nasional.
6. Perjuangan Militer dan Diplomasi: Selain upaya diplomasi, perjuangan militer juga terus dilakukan untuk mempertahankan dan memperluas wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia. Sementara itu, diplomat Indonesia juga aktif melakukan upaya diplomasi internasional untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan.
7. Deklarasi Politik dan Hukum: Berbagai pernyataan politik dan hukum, seperti Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 September 1945, juga dilakukan untuk memperkuat legitimasi Republik Indonesia dan menyusun dasar-dasar konstitusi.
8. Perjuangan dan Pemeliharaan Kemerdekaan: Selama beberapa tahun pertama setelah Proklamasi, Indonesia terlibat dalam perjuangan berkelanjutan untuk mempertahankan kemerdekaan dari berbagai tantangan, termasuk upaya militer dan diplomasi Belanda.
Tindakan-tindakan tersebut mencerminkan upaya keras yang dilakukan oleh Republik Indonesia dalam mengonsolidasikan kemerdekaan dan mendapatkan pengakuan internasional, serta membangun struktur pemerintahan dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang diumumkan dalam naskah Proklamasi.